Sekarang sudah masuk era teknologi tinggi, era di mana informasi bisa diakses dengan mudah. Caranya bisa melalui internet, atau melalui fitur telepon, atau sms, atau messaging app seperti whatsapp, line, BBM, dll. Sekarang ini, informasi sangat mudah dicari. Mau cari resep japanese cotton cheesecake? Tanya Mbah Google. Mau belajar cara merajut? Tanya Mas Yucub. Mau minta resep sama temen? Bisa lewat sosial media, atau telpon langsung, atau sms, atau whatsapp, dll. Mudah sekali untuk belajar. Kecuali belajar agama, kudu harus wajib hati-hati belajar dari google ya. Mending langsung ke guru agama yang berilmu dan ‘bener’. 😀
Nah.. Coba bandingin sama jaman dulu, jaman di mana belum ada teknologi, belum ada handphone. Telpon mungkin sudah ada (yang nomernya bukan dipencet, tapi diputer), tapi ga semua orang punya pada saat itu. Telpon cuma dimiliki oleh keluarga yang berada. Lalu, gimana dengan yang perekonomiannya biasa-biasa aja, malah menengah ke bawah?
Dulu informasi tentang ilmu hanya bisa diserap langsung dari guru, dari perpustakaan, dari buku-buku yang bagi kalangan menengah ke bawah masih dianggap mahal dan lebih memprioritaskan urusan perut sehari-hari, atau turun-temurun dari nenek buyut dan orangtua. Ga semua orang bisa mengakses ilmu dengan cara-cara tersebut.
Saya seringkali share postingan di social media mengenai cara mendidik anak dengan kelembutan, cara memperlakukan anak yang kurang istimewa dalam nilai akademik, dll. Hal itu saya lakukan sebagai pencarian pembenaran bahwa yang ibu saya lakukan pada saya dahulu kala itu salah. Saya ingin, dengan membagikan postingan tersebut, Ibu saya membacanya dan menyadari kesalahannya. Saya ingin Ibu saya menyadari walau sudah terlambat, bahwa ketika Beliau memaksa saya dengan kekerasan sewaktu belajar pelajaran SD, itu salah. Ketika Beliau tidak memperbolehkan saya ikut kursus beladiri, hanya karena alasan takut saya terluka, itu sebenarnya salah walaupun saya bisa memaklumi kekhawatirannya pada saya, putri satu-satunya. Ketika Beliau meremehkan bisnis yang ingin saya kerjakan padahal belum juga dijalani, sehingga semangat saya menurun karena diremehkan Beliau, itu salah. Saya ingin Beliau sadar bahwa dirinya adalah orangtua toxic, yang membunuh karakter anak perlahan-lahan. Well, sampai sekarang jadinya saya masih tidak punya cita-cita, karena cita-cita saya selalu dibunuhnya. Mungkin karena Beliau tidak bisa, jadi dipikirnya saya pun tidak bisa, lalu beliau mematahkan semangat saya, dan membenarkan dirinya bahwa saya memang tidak bisa, seperti Beliau.
Bertahun-tahun saya gagal move on. Masih menyalahkan Ibu saya atas hal-hal yang tidak dapat saya lakukan, karena kurangnya support dari Beliau.
Dan baru belakangan ini, saya yang justru sadar, saya tidak bisa 100% menyalahkan Beliau. Saya baru berpikir, Ibu saya berasal bukan dari kalangan menengah ke atas, tapi justru menengah ke bawah. Sekolah saja hanya tamatan SAA (mungkin selevel SMA). Buku-buku dan peralatan sekolah Beliau adalah lungsuran dari kakak-kakaknya, yang padahal kurikulumnya sudah beda dan tidak sesuai dengan mata pelajaran sekolahnya pada saat itu. Dan bahkan, ketidaktahuan akan cara membantu anak teredukasi sudah menjalar dari ibunya Beliau, nenek saya. Dan mungkin nenek saya juga dulunya diperlakukan seperti itu oleh ibunya, dan seterusnya sampai ke silsilah Ibu ke atas-atasnya lagi.
Saya jadi merasa bersalah. Keberuntungan memang kurang berpihak pada Ibu saya ketika dirinya masih kecil. Kakaknya saja ada enam orang. Yah maklum lah ya, jaman dulu anaknya banyak. Ayah saya anak pertama dari sembilan bersaudara. Nasibnya pun sama. Beliau terpaksa berhenti kuliah karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Singkat kata, orangtua saya bukan termasuk kelas menengah atas yang punya telepon di rumahnya, seperti di film-film jadul.
Link-link artikel yang saya share di sosial media, mungkin akan dibaca ibu saya (kami berteman di sebuah socmed). Namun hal itu sudah sangat terlambat untuk Beliau pelajari. Toh saya dan kakak saya, anak-anaknya, sudah beranjak dewasa dan sudah menikah semua. Masa iya Beliau ambil anak orang untuk dididik ulang dengan cara yang baru Beliau pahami lewat link yang saya share?
Seharusnya saya maklum kenapa Ibu saya tidak banyak memiliki keahlian untuk diturunkan pada saya, kenapa Ibu saya melarang saya dalam beberapa hal yang Beliau kurang paham mengenai manfaatnya. Tidak seperti sekarang, saya tinggal ketik keyword di youtube, lalu saya bisa praktik. Kalau ibu jaman dulu, karena tidak bisa cari tahu lewat internet, mungkin akan sangat kebingungan apabila ada hal yang tidak diketahuinya. Mungkin harus bertanya langsung pada orang lain. Dengan adanya era teknologi seperti sekarang, dan informasi yang beragam yang dapat saya akses dengan mudah, seharusnya ibu jaman sekarang bisa lebih dari ibunya dalam hal mendidik anak, mengembangkan bakat, dalam hal apa saja. Tapi menurut saya, kita juga baru sekarang ini merasakan era seperti ini. Masih banyak yang belum mengerti internet dapat digunakan untuk belajar, masih banyak yang memanfaatkan internet untuk hal-hal yang sifatnya kurang mendidik, seperti curhat/marah-marah/nyindir/perang status di social media.
Untuk itu, saya harus move on dari menyalahkan ibu saya. Saya harus ikhlas pernah mendapat perlakuan seperti itu karena ketidaktersediannya ilmu parenting untuk orangtua saya. Sayalah yang harus mulai mengedukasi diri untuk dapat mengedukasi anak-anak kami. Supaya anak-anak kami menjalani hidup dengan bergairah mengejar cita-cita. Karena bila sekedar punya anak, lalu kasih makan saja, itu tidak cukup. Saya ingin anak-anak kami punya karakter, punya cita-cita, punya impian besar yang baik, punya kepintaran dan keahlian yang berguna bagi dirinya dan bagi dunia. Tidak seperti ibunya yang sekarang masih tidak punya cita-cita padahal sudah lebih dari 28 tahun hidup.
Ini saya jadikan misi dalam hidup saya. Kalau bisa dikatakan, ini mungkin impian terpendam saya; untuk memperbaiki keturunan secara agama, secara akhlak, secara keahlian, secara karakter, untuk mendapat penghidupan yang lebih baik lagi dari kami orangtuanya. Aamiin ya Rabbal alaamiin.
Note to myself: Ayo! Jangan malas mengedukasi diri! Belajar ilmu sebanyak-banyaknya dari internet! Educate yourself to educate your children! SEMANGAT!!!