sticky notes

The place for me to blah blah blah..

Year End Post

Btw anw busw,

Baru nyadar liat tanggal postingan sebelumnya, udah masuk 31 Desember 2015, which means ini udah di penghujung tahun. Sebenernya biasa aja sih, di Saudi juga ga ada perayaan tahun baruan, kembang api, keliling monas (mana ada monas di mari?), dll yg bikin macet. Everything goes normally.

Tapi karena dari dulu kebiasaan tiap ganti tahun, tepat jam 12 malem gw pasti lagi nongkrong di atas genting rumah nontonin kembang api dari kejauhan sambil merenungkan apa aja yang udah gw lalui dan gw capai, apa aja resolusi yang terwujud, dan gimana harusnya resolusi tahun berikutnya. Itu juga kalo gak hujan sih 😀

Kali ini gw ga akan share resolusi, karena seperti biasa, I suck at implementing my own plan/resolution. So, mending gw ga menyebut keinginan gw untuk tahun depan sebagai resolusi.

Gw cuma berharap, mulai esok hari (ga mau nyebut “mulai tahun depan” because it’s too mainstream :D) gw bisa semakin baik dari sebelumnya. So that’s it. Aamiin dulu aaah.. AAMIIIN..

Leave a comment »

Let It Go

No, it’s not about that song. Haha.

It’s about forgiving.

Saya mendadak jadi bengong begitu tulis tentang ini, karena ini ga mudah. Walopun di mulut dan di hati berkata memaafkan, tapi masih ada perasaan sedih, walau bukan marah atau dendam. Dan ga mudah untuk cerita tentang ini, karena saya ga mau ada yang jadi berpikiran jelek tentang orang yang pernah melukai saya ini. Please, please, orangnya sebenarnya baik kok, hanya saja beliau pernah terluka batin.

Gini.. Saya tidak diperlakukan secara suportif dan asertif oleh keluarga saya, yang cukup meninggalkan bekas luka di hati dan yang paling utama adalah mempengaruhi karakter saya. Saya jadi pemalu, ga pede-an, sering sedih, dan cenderung menyalahkan keluarga saya, “karena beliau begitu sama saya, saya jadi ga bisa begini-begitu.”

Dan lambat laun akhirnya saya tau, bahwa keluarga saya begitu karena dulunya juga diperlakukan seperti itu. Namun sayangnya, keluarga saya sepertinya terluka batin terlalu dalam sehingga tidak bisa melihat bahwa siklus itu harus dihentikan, karena kalau tidak, saya akan belajar jadi orangtua seperti beliau, lalu cucu mereka juga akan meniru, dan berkelanjutan sampai cicit cucut tujuh keturunan berikutnya (lebay). Atau mungkin beliau sebenarnya melihat, tapi tidak sanggup mengendalikan emosi sendiri dan malah memilih jalan yang paling enak dan mudah; melampiaskan pada anak dan pasangan.

Hoho. Saya sampai di satu titik di mana saya mulai sadar akan siklus ini dan saya tidak mau tumbuh jadi orang seperti itu. Bukannya ga sayang, tapi saya tidak melihat kepribadian seperti itu sebagai role model untuk bisa saya tiru. Bertahun-tahun saya diharuskan hanya melihat cara hidup seperti itu sebagai cara hidup yang sudah paling aman dan tidak perlu menghadapi macam-macam karakter buruk orang, well, karena kalau saya mengidolakan orangtua lain, orangtua saya malah cemburu dan menyuruh saya jadi anak orang itu saja. Lucu, bukan? Saya jadi tidak punya banyak pilihan untuk dijadikan panutan, padahal ini untuk kepentingan perkembangan karakter saya.

Selama beberapa waktu, saya mulai menyadari bahwa saya mulai jadi seperti beliau. Dan saya cenderung lebih suka menyalahkan beliau karena keadaan saya yang akhirnya jadi seperti ini itu akibat contoh dari beliau. And I have to stop this.

Saya mau memaafkan. Dan ya, saya mulai memaafkan, walau masih tersisa rasa sedih. Mungkin ada saatnya nanti saya ga cuma memaafkan, tapi juga ikhlas pernah merasakan hal ini.

Tapiiii.. Saya juga ingin keluarga saya ini memaafkan siapa-siapa saja yang pernah menyakitinya sebelumnya. Karena saya lihat, yang dia lakukan dengan tidak memaafkan itu tidak hanya melukai orang lain dalam keluarga (saya misalnya), dan juga melukai dirinya sendiri, terjebak dalam penjara amarah. Beberapa kali saya mencoba mengusulkan, ber-husnudzon-lah pada orang lain, terutama pada Allah. Bahkan sekarang saya sudah bisa berhusnudzon pada keluarga saya ini, berusaha memahami, bukannya memaksa untuk dipahami.

Setelah menyadari ini, saya merasa banyak sekali tugas yang perlu saya lakukan. Selain membantu menyadarkan keluarga saya ini, saya juga harus merubah karakter saya, kebiasaan saya, cara pandang saya dalam hidup, dan juga mulai bersosialisasi. Sebelumnya, ketika saya belum menikah dan masih dibesarkan mereka, beliau memaksa saya untuk hanya mencontoh dirinya saja. Dan saya bingung, beliau ingin saya menjadi seperti dirinya, tapi juga memaksa untuk bisa lebih dari dirinya dan tidak memfasilitasi saya untuk bisa lebih darinya. Ah entahlah, panjang dan rumit kisahnya kalau saya uraikan lebih banyak dari ini.

Intinya, sekarang saya sudah menikah dan sudah tidak tinggal dekat dengan mereka, jadi mereka tidak bisa lagi melarang-larang saya untuk bersosialisasi dan menjadikan orang lain sebagai contoh baik bagi saya, tidak bisa lagi melarang saya untuk traveling, untuk mengenal banyak orang dan bisa menghadapi berbagai macam karakter.

Dan yang pasti, a lesson learned, dengan memaafkan, saya bisa membuka lembaran baru yang putih bersih. Tugas utama saya selanjutnya adalah untuk bisa memulai diri saya yang baru sambil belajar untuk bisa ikhlas menerima semua yang pernah terjadi dalam hidup. So, just let go..

Leave a comment »

Changing Habit on Process

I like the new me, walau transformasinya masih dalam proses tapi gw sudah tau ke mana arah tujuan gw kali ini and I like where I’m going to. The old me sucks and doesn’t know that she sucks real bad, padahal juga sudah melalui beberapa kali transformasi. Well, versi pertama diri gw berarti benar-benar sucks kalau yang kemarin saja sudah cukup sucks.

So, couple days ago, I felt stuck, feeling mental breakdown. I didn’t know what to do with my life. I felt too lazy just to clean up home, felt like I had no dreams, I had no direction, just felt depressed and empty. I usually didn’t care about this and then got sick and just kept going sleeping for hours, doing nothing, or do something in the very last minute. But days ago, somehow I clearly thought that I had to change this situation. Lha kok jd boso inglais yo? Boso jowo ae to yo..

Gw tersadar kalo gw terus-terusan begini, seumur hidup gw bakalan ngerasa ga live life to the fullest. Udah saatnya gw merubah diri gw, mulai dari kebiasaan dan pola hidup ga sehat gw (makan ga bergizi, suka ngelewatin waktu makan, males rawat diri, menggantungkan diri pada mood untuk bebenah rumah, too much socmed silent reading, begadang, jarang minum air putih). And I started to remember all my friends. Aaalll of my friends who have good quality in them that make me feel defeated. Jujur, gw merasa banyak teman yg meniru kelebihan gw (bahkan bisa lebih hebat dari gw), gw merasa dicurangi karena diri gw digunakan untuk menjadikan diri mereka lebih baik, tapi mereka ga memberi gw apa2 sehingga gw sendiri malah stuck di situ-situ aja. Pdhl mereka bukan melakukan itu supaya lebih baik dari gw (ih pede banget lo), but they did it so they can be better than they were before. So, I started to think. Pointnya adalah; to do that, too! Amati, tiru, modifikasi sesuai style sendiri. Bukannya mereka ga memberi apa2 untuk gw juga berubah jadi lebih baik, tapi gw-nya pada saat itu sepertinya belum terlalu open-mind untuk bisa mengambil baiknya dan buang buruknya. Daripada minta ditolong, lebih baik bantu dan tolong diri lo sendiri untuk menerapkan kelebihan orang lain pada diri sendiri agar bisa jadi lebih baik dari diri lo yg dulu.

Aaaaand, starting from today, gw mulai nyoba ikutin jadwal harian yg gw buat untuk diri sendiri, daripada pagi2 cuma gw pake buat tidur melulu, daripada waktu terbuang sia2 cuma karena gw rebahan leyeh2 sambil geser2 layar HP liatin hal2 yang kurang ada manfaat untuk hidup gw. Alhamdulillah, hari ini sih 75% bisa ngikutin jadwal. I usually suck at implementing my own plans. Well, semua berawal dari niat dan tekad sih ye..

Today I started to do yoga, jalan kaki sambil angkat barbel (berupa dua tabung garam seberat 700gr each), bebersih rumah, merawat diri, makan tepat waktu, minum 2lt air. While taking shower, all of a sudden, gw merasa suka dengan apa yang gw lakukan hari ini. Hey, I like this. This can be the new me. I don’t like the old me, the old me itu hampa, ga bergairah, ga bersemangat, ga happy, ga ada kesibukan, ga ada kerjaan, loser. I wanna change and keep doing this good habit. Gw mau jadi rajin, gw mau kebersihan, kerapihan, dan keindahan, gw mau jadi dewasa dan bijak, gw mau berwawasan luas, gw mau jadi tipe guru (selama ini gw tipe murid kalo kata teman, karena harus ditanya dulu, baru cerita, itu pun ga lengkap, karena ga pede apa yg gw omong bakalan sesuatu yang belum pernah didengar/diketahui orang lain), gw mau lebih mendalami agama Islam. Dan semua itu gw harus tiru dari teman2, contoh nyata terdekat gw.

Environment shapes you! Dalam berteman ternyata kita harus sedikit picky. Picky yg gw maksud itu adalah, kelilingi diri lo, atau usahakan diri lo bisa berada di tengah-tengah lingkungan pertemanan yang baik-baik, that brings out the best in you, yang bisa menjadikan lo lebih baik lagi. Boleh banget ternyata kalau mau pakai azas manfaat dalam berteman, maksudnya gini; semua orang ada plus dan minusnya, kita bisa ambil baiknya-buang buruknya, tiru kebaikannya-ga usah dibahas kejelekannya alias cukup tau aja. Itu dia satu-satunya azas manfaat yang bisa kita gunakan. Dan dengan memilih teman untuk grow up bersama dengan kebaikan-kebaikannya, itu akan mempengaruhi sifat, perilaku, dan kebiasaan kita. Lingkungan yang (bisa) kita pilih itu akan membentuk pribadi kita.

Dan gw bersyukur memiliki teman-teman yang punya banyak kebaikan yang bisa gw amati, tiru, dan modifikasi sesuai jiwa gw. They really turn me into who I am now, and who I will be. The “me” now is good enough, I think. I am lucky enough to be destined to meet some friends that inspire me to make a good change with myself, alhamdulillah.

So, yeah. I like the new me and where I’m heading to. 😉

Leave a comment »

Protected: Allah itu Maha Baik

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Enter your password to view comments.

Inspirations Around Us

Berkaitan dengan postingan beberapa waktu yg lalu mengenai ibu jaman dulu belum kenal teknologi internet, belum kenal google jadi ga bisa cari “wangsit” lewat hp atau laptopnya untuk sekedar cari resep, cari tips, atau cari pengobatan tradisional kalo anak sakit. Postingan kali ini masih tentang hal itu.

Kali ini saya mau cerita tentang inspirasi yang saya dapatkan dari seorang teman yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Ternyata kami memiliki tipe ibu yang sama; ga kenal internet, ga punya keahlian khusus untuk diturunkan pada kami, dan ga tau di mana tempat belajar keahlian yang diminati. Bedanya, teman saya itu ada kemauan yang kuat untuk belajar, dan dia sangat serius belajar. Kalau yang lain sekilas mengenalnya hanya sebatas, “oh dia yang pinter itu, sepertinya tau banyak karena sering menimpali dan menambahkan beberapa hal ketika diskusi.”

Ya itu karena dia benar-benar serius dalam mempelajari dan menambah wawasan. Dia pernah berkata pada saya, “karena ibu saya ga bisa nurunin ilmu ke saya, jadi saya yang cari ilmu. Saya pengen kalo punya anak nanti, bisa saya warisi ilmu-ilmu bermanfaat.” Dan dia daftar banyak kursus keahlian.

Di situ saya langsung tersadar. Teman saya ini semangat belajarnya bagus sekali. Beda banget sama saya yang kepentok sama ortu yg tidak mendukung saja langsung kalah. Padahal selama itu bukan hal buruk yg tidak bermanfaat, dan memang ada minat, kenapa harus mendengarkan perkataan yang tidak membantu saya membangun jiwa yang bersemangat belajar, bahkan yang datang dari keluarga sendiri? Harusnya semangat saya bisa lebih kuat dari ini. Mestinya saya bisa lebih keras pada keinginan belajar saya dan mematahkan jargon “orang kayak kamu pasti ga bakal bisa” khas ibu saya.

Baiklah. Keinginan belajar dengan misi untuk mewarisi ilmu bermanfaat pada keturunan sudah ada. Tinggal belajar dari teman saya ini, bagaimana mempertahankan semangat ini agar terus berkobar.

Sekarang saya juga sudah ada suami, minta dukungan ya ke suami. Ga perlu lagi minta dukungan materi dan spiritual dari ortu. Alhamdulillah suami selalu dukung 100% kalau saya mau belajar sesuatu. Cuma, karena banyak yang harus diprioritaskan dalam urusan dana, jadinya belum juga terlaksana mau belajar berbagai hal. Major interest saya sih ke kerajinan tangan, ga tau dari dulu suka geratilan tangannya. Coret2 gambar kalo yg gratisan, kalo yg pake modal dikit ya bikin boneka dari kain flanel. Cuma bisa berdoa, semoga ada suatu saat di mana saya bisa fokus belajar, tersedia dananya, tersedia waktu dan tempat dan alat-alatnya, juga dukungan dari suami dan anak2 nantinya, dan bakat yang mumpuni serta kreativitas yang menjadikannya unik. Aamiin. Can I hear ‘aamiin’ from you, too? 😉

Leave a comment »

Ibu Jaman Sekarang & Ibu Jaman Dulu

Sekarang sudah masuk era teknologi tinggi, era di mana informasi bisa diakses dengan mudah. Caranya bisa melalui internet, atau melalui fitur telepon, atau sms, atau messaging app seperti whatsapp, line, BBM, dll. Sekarang ini, informasi sangat mudah dicari. Mau cari resep japanese cotton cheesecake? Tanya Mbah Google. Mau belajar cara merajut? Tanya Mas Yucub. Mau minta resep sama temen? Bisa lewat sosial media, atau telpon langsung, atau sms, atau whatsapp, dll. Mudah sekali untuk belajar. Kecuali belajar agama, kudu harus wajib hati-hati belajar dari google ya. Mending langsung ke guru agama yang berilmu dan ‘bener’. 😀

Nah.. Coba bandingin sama jaman dulu, jaman di mana belum ada teknologi, belum ada handphone. Telpon mungkin sudah ada (yang nomernya bukan dipencet, tapi diputer), tapi ga semua orang punya pada saat itu. Telpon cuma dimiliki oleh keluarga yang berada. Lalu, gimana dengan yang perekonomiannya biasa-biasa aja, malah menengah ke bawah?

Dulu informasi tentang ilmu hanya bisa diserap langsung dari guru, dari perpustakaan, dari buku-buku yang bagi kalangan menengah ke bawah masih dianggap mahal dan lebih memprioritaskan urusan perut sehari-hari, atau turun-temurun dari nenek buyut dan orangtua. Ga semua orang bisa mengakses ilmu dengan cara-cara tersebut.

Saya seringkali share postingan di social media mengenai cara mendidik anak dengan kelembutan, cara memperlakukan anak yang kurang istimewa dalam nilai akademik, dll. Hal itu saya lakukan sebagai pencarian pembenaran bahwa yang ibu saya lakukan pada saya dahulu kala itu salah. Saya ingin, dengan membagikan postingan tersebut, Ibu saya membacanya dan menyadari kesalahannya. Saya ingin Ibu saya menyadari walau sudah terlambat, bahwa ketika Beliau memaksa saya dengan kekerasan sewaktu belajar pelajaran SD, itu salah. Ketika Beliau tidak memperbolehkan saya ikut kursus beladiri, hanya karena alasan takut saya terluka, itu sebenarnya salah walaupun saya bisa memaklumi kekhawatirannya pada saya, putri satu-satunya. Ketika Beliau meremehkan bisnis yang ingin saya kerjakan padahal belum juga dijalani, sehingga semangat saya menurun karena diremehkan Beliau, itu salah. Saya ingin Beliau sadar bahwa dirinya adalah orangtua toxic, yang membunuh karakter anak perlahan-lahan. Well, sampai sekarang jadinya saya masih tidak punya cita-cita, karena cita-cita saya selalu dibunuhnya. Mungkin karena Beliau tidak bisa, jadi dipikirnya saya pun tidak bisa, lalu beliau mematahkan semangat saya, dan membenarkan dirinya bahwa saya memang tidak bisa, seperti Beliau.

Bertahun-tahun saya gagal move on. Masih menyalahkan Ibu saya atas hal-hal yang tidak dapat saya lakukan, karena kurangnya support dari Beliau.

Dan baru belakangan ini, saya yang justru sadar, saya tidak bisa 100% menyalahkan Beliau. Saya baru berpikir, Ibu saya berasal bukan dari kalangan menengah ke atas, tapi justru menengah ke bawah. Sekolah saja hanya tamatan SAA (mungkin selevel SMA). Buku-buku dan peralatan sekolah Beliau adalah lungsuran dari kakak-kakaknya, yang padahal kurikulumnya sudah beda dan tidak sesuai dengan mata pelajaran sekolahnya pada saat itu. Dan bahkan, ketidaktahuan akan cara membantu anak teredukasi sudah menjalar dari ibunya Beliau, nenek saya. Dan mungkin nenek saya juga dulunya diperlakukan seperti itu oleh ibunya, dan seterusnya sampai ke silsilah Ibu ke atas-atasnya lagi.

Saya jadi merasa bersalah. Keberuntungan memang kurang berpihak pada Ibu saya ketika dirinya masih kecil. Kakaknya saja ada enam orang. Yah maklum lah ya, jaman dulu anaknya banyak. Ayah saya anak pertama dari sembilan bersaudara. Nasibnya pun sama. Beliau terpaksa berhenti kuliah karena harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Singkat kata, orangtua saya bukan termasuk kelas menengah atas yang punya telepon di rumahnya, seperti di film-film jadul.

Link-link artikel yang saya share di sosial media, mungkin akan dibaca ibu saya (kami berteman di sebuah socmed). Namun hal itu sudah sangat terlambat untuk Beliau pelajari. Toh saya dan kakak saya, anak-anaknya, sudah beranjak dewasa dan sudah menikah semua. Masa iya Beliau ambil anak orang untuk dididik ulang dengan cara yang baru Beliau pahami lewat link yang saya share?

Seharusnya saya maklum kenapa Ibu saya tidak banyak memiliki keahlian untuk diturunkan pada saya, kenapa Ibu saya melarang saya dalam beberapa hal yang Beliau kurang paham mengenai manfaatnya. Tidak seperti sekarang, saya tinggal ketik keyword di youtube, lalu saya bisa praktik. Kalau ibu jaman dulu, karena tidak bisa cari tahu lewat internet, mungkin akan sangat kebingungan apabila ada hal yang tidak diketahuinya. Mungkin harus bertanya langsung pada orang lain. Dengan adanya era teknologi seperti sekarang, dan informasi yang beragam yang dapat saya akses dengan mudah, seharusnya ibu jaman sekarang bisa lebih dari ibunya dalam hal mendidik anak, mengembangkan bakat, dalam hal apa saja. Tapi menurut saya, kita juga baru sekarang ini merasakan era seperti ini. Masih banyak yang belum mengerti internet dapat digunakan untuk belajar, masih banyak yang memanfaatkan internet untuk hal-hal yang sifatnya kurang mendidik, seperti curhat/marah-marah/nyindir/perang status di social media.

Untuk itu, saya harus move on dari menyalahkan ibu saya. Saya harus ikhlas pernah mendapat perlakuan seperti itu karena ketidaktersediannya ilmu parenting untuk orangtua saya. Sayalah yang harus mulai mengedukasi diri untuk dapat mengedukasi anak-anak kami. Supaya anak-anak kami menjalani hidup dengan bergairah mengejar cita-cita. Karena bila sekedar punya anak, lalu kasih makan saja, itu tidak cukup. Saya ingin anak-anak kami punya karakter, punya cita-cita, punya impian besar yang baik, punya kepintaran dan keahlian yang berguna bagi dirinya dan bagi dunia. Tidak seperti ibunya yang sekarang masih tidak punya cita-cita padahal sudah lebih dari 28 tahun hidup.

Ini saya jadikan misi dalam hidup saya. Kalau bisa dikatakan, ini mungkin impian terpendam saya; untuk memperbaiki keturunan secara agama, secara akhlak, secara keahlian, secara karakter, untuk mendapat penghidupan yang lebih baik lagi dari kami orangtuanya. Aamiin ya Rabbal alaamiin.

Note to myself: Ayo! Jangan malas mengedukasi diri! Belajar ilmu sebanyak-banyaknya dari internet! Educate yourself to educate your children! SEMANGAT!!!

Leave a comment »

INTRODUCTORY

“Hello,” a girl waves to the webcam.

That’s the first thing she says to you. With a shy smile on her chubby face. Eyes narrowed, makes her look like a Chinese girl. Well, the Chinese blood of her generation ended at her mom, we can say so.

Since you don’t have webcam, you don’t wave back as if she could see you, of course. You don’t even smile back at her. But I know your heart does. What kind of person are you, not to be able to see her cuteness when she smiles? I’m just kidding. Maybe your heart doesn’t even smile back at her, but we can assume that this girl is quite a friendly one if you get to know her well.

She opens her mouth as if she was about to say something, but no.. She doesn’t speak. She closes her mouth with a fast movement and looks like she’s thinking something. Her index finger raised, at the same time her face expresses an idea comin’ thru. Then she types something..

As it appears on your monitor,

“You can call me Chibi. Starting from now on, I will treat you as my friend. And as my friend (well this is just a basic need of mine and it’s ok if you don’t want to do me this favor), I need to tell you many things flashing around inside my head, and I want you to tell me what you think about them, but please do not judge me for what I wrote. Can you do that?”

Without answering, you know you’re tempted to peek her thoughts. And you start to read the next writing from her with no guarantee that you’ll love it. But, you just keep on reading until the first writing of hers and you read this line. And that’s sweet.

Thank you, just for being that sweet person 🙂 You know who you are. #NoMention #Lhaa #KokJadiTwitter?

Leave a comment »